Heikegani adalah spesies kepiting asli asal Jepang yang terkenal karena pola yang aneh pada cangkangnya. Kalau dilihat dari atas, mereka tampak seperti memiliki wajah membersut dari topeng samurai yang tercetak di tempurungnya. Menurut legenda, ini adalah hasil dari kebencian samurai yang tenggelam dari klan Taira – juga dikenal sebagai Heike – yang membekas pada kepiting ini.
Selama abad ke-12, perang saudara berdarah terjadi antara dua klan politik terpenting Jepang — Minamoto, atau Genji, dan Taira, atau Heike. Perang tersebut secara meyakinkan berakhir pada tahun 1185 dalam Pertempuran Dan no ura. Armada kapal Genji dan Heike bertemu di selat sempit yang memisahkan Honshū dan Kyūshū (Kanmon). Sementara pertempuran awalnya disukai Heike, saat arus berubah, keuntungan berpihak pada Genji. Selain itu, seorang jenderal Taira, Taguchi Shigeyoshi, membelot dan mengungkapkan lokasi kapal Heike yang membawa Kaisar Antoku yang berusia enam tahun dan tanda kekaisaran (Imperial Regalia). Pemanah Genji menghujani anak panah ke armada kapal Heike. Ketika menjadi jelas bahwa kekalahan tak terhindarkan, Heike yang masih hidup, termasuk kaisar muda, menceburkan diri ke laut dan tenggelam alih-alih ditangkap. Pertempuran tersebut menghasilkan kemenangan yang mutlak bagi Genji dan kehancuran total Heike.
Menurut legendanya, meskipun Heike secara fisik dimusnahkan, jiwa mereka tetap hidup, membawa dendam dari perang dan pengkhianatan jenderal mereka. Jiwa prajurit Heike yang mati yang hilang di laut bersarang di kepiting yang merangkak di dasar laut. Cangkang kepiting bermutasi menjadi bentuk wajah membersut, pengingat permanen akan dendam yang tak pernah berakhir dari Heike.
Di Kota Kitakyūshū, konon jiwa laki-laki Heike berubah menjadi heikegani, sedangkan jiwa perempuan Heike berubah menjadi kappa.
Heikegani sempat digunakan oleh Carl Sagan dalam serial televisi sains populer Cosmos: A Personal Voyage sebagai contoh seleksi buatan yang tidak disengaja, yang merupakan interpretasi yang diterbitkan oleh Julian Huxley pada tahun 1952. Menurut hipotesis ini, kepiting dengan cangkang yang menyerupai wajah samurai dilempar kembali ke laut oleh nelayan untuk menghormati prajurit Heike, sementara yang tidak menyerupai akan dimakan, sehingga kepiting yang cangkangnya menyerupai mampu bertahan hidup lebih lama dan memberikannya kesempatan besar untuk bereproduksi. Dengan demikian, semakin mirip kepiting dengan wajah samurai, semakin besar kemungkinan mereka akan dilempar kembali ke laut dan terselamatkan.
Gagasan tersebut telah diragukan oleh beberapa tokoh, seperti Joel W. Martin. Dia berpendapat bahwa manusia tidak memakan heikegani, dan karena itu tidak ada tekanan buatan yang mendukung pola cangkang seperti wajah itu, jadinya itu tidak terbentuk oleh seleksi buatan yang bertentangan dengan implikasi dari Sagan. Sebenarnya, lipatan yang membuat pola seperti wajah di tempurung tersebut memiliki fungsi yang sangat penting sebagai tempat melekatnya otot. Pola serupa juga ditemukan pada tempurung spesies dan genera lain di seluruh dunia, termasuk di beberapa sisa fosil.
Selengkapnya tentang Pertempuran Dan-no-ura
Pertempuran Dan-no-ura didahului oleh pertarungan besar antara penguasa kekaisaran Jepang, klan Taira (Heike), dan klan Minamoto (Genji), yang berjuang untuk menguasai takhta pada akhir abad ke-12 dalam Perang Genpei (1180–1185).
Pada tanggal 24 April 1185 M, dua klan Samurai yang kuat bertempur sampai mati di teluk Dan-no-ura di Laut Pedalaman Jepang. Klan Taira yang berkuasa dipimpin oleh Kaisar muda, Antoku, dan neneknya, Taira no Tokiko. Heike telah memerintah Jepang selama beberapa dekade, tetapi sekarang, secara besar-besaran kalah jumlah, mereka menghadapi kekalahan di tangan Minamoto.
Selama pertempuran, Tokiko membawa Kaisar Antoku dan melompat bersamanya ke dalam air di Selat Kanmon (atau selat Shimonoseki), menenggelamkan kaisar muda itu, daripada membiarkannya ditangkap oleh pasukan lawan, dan sebagian besar anggota dan jenderal dari Klan Taira mengikuti mereka dengan putus asa. Antoku kemudian dipuja sebagai Mizu-no-kami (“dewa air”).
Pertempuran krusial ini merupakan titik balik kultural dan kepolitikan dalam sejarah Jepang: Minamoto Yoritomo menjadi Shōgun, atau penguasa militer, pertama Jepang. Dan-no-ura menandai awal dari tujuh abad di mana Jepang diperintah oleh para pejuang dan Shōgun alih-alih Kaisar dan bangsawan.
Sumber: Yokai.com, Wikipedia
Comments