Menjelang 11 Maret, orang-orang di sekitar Jepang mengingat kembali Gempa Bumi Besar yang melanda Jepang bagian Timur sepuluh tahun silam , serta mengingat ribuan nyawa yang selamanya terkena dampak bencana tersebut.

Jum’at (5/3) penyiar televisi nasional Jepang NHK menyoroti beberapa korban dengan menayangkan ulang film dokumenter dari tahun lalu, berjudul “Suara Terkubur 25 Tahun Kebenaran-Kekerasan Seksual dalam Peristiwa Bencana-” .

Film dokumenter berdurasi 45 menit tersebut menampilkan wawancara dengan para aktivis yang telah bekerja keras untuk memberantas kekerasan seksual di Jepang, dimana hal tersebut tidak hanya terjadi setelah gempa bumi 2011 tetapi juga setelah Gempa Bumi Besar Hanshin-Awaji yang meluluhlantahkan wilayah Kobe pada tahun 1995.

Kekerasan seksual setelah bencana telah didokumentasikan secara luas di seluruh dunia, tetapi di Jepang, masalah ini sebagian besar terabaikan.

Menurut data survei yang dihimpun setidaknya terjadi 82 insiden diantaranya sexual assault, sexual harassment, dan kontak sexual yang tak diinginkan. Banyak dari korban adalah perempuan lajang, sedang berpisah dengan pasangannya, bercerai atau janda. Sejumlah kasus yang melibatkan jenis penyerangan quid pro quo, dimana individu dieksploitasi untuk seks dengan imbalan sumber daya seperti makanan dan tempat tinggal.

Yorisoi Hotline didirikan pada Maret 2012 sebagai layanan konsultasi telepon khusus wanita 24 jam gratis untuk membantu penduduk setempat dengan masalah apa pun setelah bencana. Dari 360.000 panggilan yang diterima pada 2013 hingga 2018,  setidaknya lebih dari setengah konsultasi yang ditemukan murujuk pada kekerasan seksual di tiga wilayah yang terkena dampak parah, yaitu prefektur Fukushima , Iwate , dan Miyagi.

Kesaksian yang mengejutkan dari para korban :

“Seorang pria di perumahan secara bertahap menjadi gila dan menangkapi seorang wanita serta menelanjanginya di tempat yang gelap. Orang-orang di sekitar tidak membantunya dan berpura-pura tidak melihatnya, dengan berkata, “Mau bagaimana lagi karena mereka masih muda.” (Wanita yang saat itu berusia 20-an)

“Kepala pusat evakuasi berkata, ‘Pasti sulit bagimu (setelah kehilangan suamimu). Aku akan memberimu handuk dan makanan, jadi datang dan ambillah di malam hari. ‘ Ketika saya pergi untuk mendapatkannya, dia dengan terang-terangan memaksa saya untuk berhubungan seks dengannya. ” (Wanita yang kehilangan suaminya dalam gempa bumi)

Meskipun kesaksian dalam film dokumenter tersebut sangat mengganggu, “suara-suara yang terkubur” ini penting untuk didengarkan. Dan karena hal itu menarik perhatian, masalah tersebut memicu beberapa tanggapan komentar.

Komentar dari beberapa kalangan :

“Saya tidak bisa berhenti menangis saat menonton ini. Ini neraka bagi wanita. “
“Saya terkejut mendengar begitu banyak cerita, dimana pemimpin tempat penampungan adalah pelaku utamanya.”
“Ini sangat mengejutkan … Aku bahkan sampai kehilangan kata-kata untuk itu.”
“Menyerang individu yang lemah setelah bencana adalah tidak manusiawi.”
“Ada pandangan bahwa orang Jepang sopan saat terjadi bencana, tapi di balik layar kejadian seperti ini terjadi.”
“Bukan hanya bencana alam yang harus dihadapi orang, tapi juga kerusakan sekunder seperti kekerasan seksual. Setiap orang harus menyadari hal ini. “
“Mereka perlu meningkatkan pemasangan kamera di sekitar tempat penampungan evakuasi dan perumahan untuk sementara.”

Temuan survei tahun 2011, yang dipimpin oleh pekerja sosial, Profesor Mieko Yoshihama dari Universitas Michigan, memang mengarah pada peningkatan layanan konsultasi, tempat penampungan evakuasi, dan tinjauan penanggulangan bencana nasional di Jepang.

Namun, para wanita pemberani yang berbicara tentang kekerasan , dan membiarkan suara mereka yang terkubur didengar merupakan ajakan nyata untuk suatu perubahan.

 

Sumber : SoraNews24

startrik

Yumi Unita Mengakhiri Manga Para Para Days

Previous article

Manga Our Last Crusade or the Rise of a New World akan Berakhir pada Tanggal 12 Maret

Next article

Comments

More in Jepang

You may also like